“Menolak Upah Rendah”
”Solidaritas Nasional Anti Upah Rendah” (SNAUR)
Dasar Pemikiran
Kondisi perburuhan di Indonesia saat ini perlu mendapatkan sorotan dari berbagai pihak. Sistem pengupahan nasional yang sangat memprihatinkan, dimana ideologi Negara yang sejak orde baru sampai sekarang masih memberlakukan upah rendah, buruh murah, perlu untuk segera dirubah.
Dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2 dinyatakan bahwa ”Tiap tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dan dalam Amandemen Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 28 D ayat 2 dinyatakan ”Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” yang kemudian ditafsirkan ke dalam Pasal 1 ayat 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur masalah upah.
Upah Menurut Pasal 1 Ayat 30 UU 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah Hak Pekerja / buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada Pekerja / buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi Pekerja / buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan / atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Latar Belakang
Buruh masih merupakan bagian dalam rangka mendukung desain dan pelaksanaan sistem neoliberalisme dan hambatan serta comodity. Buruh selalu dianggap menjadi hambatan dalam membangun neolib tersebut. Penetapan UMK (naik dan turunnya) seringkali dianggap sebagai jaring pengaman, dan ini tidak ada relevansinya. Kita tahu bahwa Serikat Pekerja (SP) dan Apindo hanya mengatur draff pengupahan, tetapi pemerintah tetap yang menentukan untuk hasilnya. Dalam hal ini yang diuntungkan adalah dewan pengupahannya. UMK naik hanya dijadikan persyaratan bagi lembaga-lembaga keuangan (mencari dana kelembaga luar). Lalu bagaimana sistem pengupahan itu diatur hanya antara pengusaha dan buruh tanpa campur tangan pemerintah. Dan pemerintah berperan sebagai tim monitoring saja?
Secara makro upah buruh murah jadi persyaratan bagi negara untuk berhadapan dengan lembaga keuangan internasional. Dewan pengupahan (terdiri dari wakil Serikat Buruh, Pengusaha) setiap tahun dipaksa berkompromi dengan penguasa dan hasilnya yang menetapkan adalah pemerintah. Yang terjadi di Banten, setiap perusahaan diminta uang dua juta untuk masalah perumusan pengupahan. Tinggal kita kali kan saja berapa hasil yang diperoleh oleh dewan pengupahan.
Upah yang diperjuangkan tidak hanya sebatas UMK dan UMP, tetapi lebih mengarah pada sistem pengupahan yang diterapkan pemerintah pada setiap daerah. Dari kondisi ini, Pelayanan Buruh Jakarta (PBJ) dengan beberapa jaringan Serikat Pekerja (SP) yang ada di Banten, DKI dan Jawa Barat, terdorong untuk menggoncang sistem pengupahan agar jaring pengaman yang digunakan pengusaha sebagai tameng dapat berubah. Salah satu contoh, wilayah Sukabumi. Upah yang masih dibawah upah layak serta terjadi kenaikan upah yang dibarengi dengan target produksi yang dinaikkan juga.
Melalui diskusi yang dilaksanakan sebanyak dua kali (20 Februari dan 11 Maret 2009), dari 21 basis yang tergabung dalam kelompok diskusi, disepakati untuk melepaskan bendera serikat pekerja masing-masing dan menyatu / melebur untuk bersama-sama menggempur sistem pengupahan yang belum memihak buruh di Indonesia. Hasil akhir diskusi tersebut adalah terbentuknya tim yang diambil dari 21 elemen anggota dengan nama ”Solidaritas Nasional Anti Upah Rendah” (SNAUR). Tim tersebut dibagi berdasarkan wilayah kerja antara lain wilayah Cakung, Banten I, Banten II, Sukabumi, Citereup, Cikarang, dan satu tim suporting group yang bertugas menyusun rencana kerja tim besar. Agenda yang akan dijalankan sebagai langkah selanjutnya adalah penguatan buruh di tingkat basis (PUK), survei penentuan upah tingkat lokal, dan advokasi terhadap pelaku ”upah rendah”.