Selasa, 05 Oktober 2010

Unsustainable Development

Pembangunan yang tidak berkelanjutan merupakan pembalikan arah, tujuan, fungsi dan segala hal dari Pembangunan Berkelanjutan. Sustainable development atau Pembangunan Berkelanjutan merupakan proses pembangunan yang memiliki prinsip bahwa pembangunan itu terus berlanjut untuk kehidupan manusia saat ini dan saat selanjutnya yang tidak mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Faktor penting yang harus diperhatikan adalah memperbaiki kehancuran lingkungan dengan tidak mengorbankan pemenuhan kebutuhan pembangunan ekonomi dan sosial. Sehingga tiga faktor utama tersebut (ekonomi, sosial, lingkungan) menjadi suatu ketergantungan yang tidak bisa dilepaskan satu sama lainnya. Salah satu masalah ini pernah diulas di postingan Menghalau Gajah VS Ekonomi Kerakyatan.

Istilah Pembangunan Berkelanjutan sudah tidak asing, demikian juga dengan Pembangunan Hijau. Kedua istilah ini sama-sama memiliki 3 faktor utama seperti di atas, hanya saja Pembangunan Hijau lebih mendahulukan Perbaikan Lingkungan. Dengan lingkungan yang lebih baik maka kemudian sumber daya tercukupi dengan pemenuhan ekonomi dan sosial. Pembangunan Hijau didengungkan karena kehancuran lingkungan yang sangat dahsyat sehingga memerlukan penangan dan perhatian khusus untuk memperbaiki, dimana lingkungan adalah merupakan sumber daya bagi manusia sekarang dan masa depan.

Konsep Pembangunan Berkelanjutan memang penuh dengan perdebatan sengit terutama tentang pengertian, faktor utama dan pendukung, teknik pelaksanaan sampai dengan pembelajaran kepada publik. Tetapi yang harus kita ambil sebenarnya pola pikir bahwa kita hidup bukan hanya untuk kita hari ini. Kita hidup juga untuk generasi penerus kita, keturunan kita.
Tetapi kenyataannya bahwa pembangunan di Indonesia tidaklah bisa menerapkan 100 persen konsep pembangunan berkelanjutan. Masih banyak kebijakan-kebijakan publik yang tidak memikirkan konsep pembangunan berkelanjutan. Banyak contoh yang ada dan akhirnya muncul ke permukaan karena tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Kebijakan publik di bidang kehutanan baik menyangkut penebangan dan pemanfaatan hutan alam, perlambatan perluasan hutan lindung, penindakan illegal logging sampai penangan kebakaran hutan. Kebijakan di bidang kelautan, yang akhirnya juga menimbulkan pertanyaan serius. Kebijakan dalam hal pembangunan jalan sebagai akses umum.
Kasus lumpur PT. Lapindo Brantas yang terjadi belakangan ini merupakan contoh sempurna betapa pembangunan yang dilakukan secara sembrono dan sekedar berorientasi keuntungan ekonomis belaka dapat memberikan akibat yang catastrophic dan begitu menghancurkan. Ironis bukan??

Pada kasus Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) Sejuta Hektar sebagai usaha pemenuhan pangan terutama beras, sebenarnya merupakan tujuan mulia. Tetapi jika dirunut ke belakang adalah bahwa lahan tersebut adalah lahan bekas HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang kosong dan ditumbuhi semak belukar dan pohon kecil. Nah, kenapa tidak menggunakan dana reboisasi untuk menghijaukan kembali lahan bekas HPH ini. Dana Reboisasi malahan dipakai untuk membangun lahan sawah di mega proyek Lahan Sejuta Hektar tersebut (Mega Rice Project). Dana APBN telah digunakan lebih dari 2 trilyun rupiah dan gagal karena melawan kodrat alam. PPLG Sejuta Hektar dilaksanakan berdasarkan Keppres 82 tahun 1995 tanggal 26 Desember 1995. Mau jadi apa dengan kondisi semacam ini? AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) pada proyek Lahan Sejuta Hektar disusun setelah proyek berjalan, sehingga tidak adanya analisa mendalam mengenai lingkungan baik flora maupun fauna. Beberapa NGO telah menyuarakan tentang perlunya peninjauan ulang atas proyek ini, tetapi terlambat diperhatikan oleh pembuat kebijakan publik saat itu. Sehingga mengakibatkan kegagalan yang luar biasa dalam penggunaan dana dan hancurnya lingkungan hidup.
Kasus pembangunan apartemen di Malang, Jawa Timur. Didirikan didekat atau dipinggir sungai Brantas, dan di dekat kampus Brawijaya. Apakah sudah memenuhi AMDAL yang ada? Perlu untuk mengkaji ulang kembali.

Jelas tulisan ini tidak ingin menggurui para pembuat kebijakan publik di negeri Indonesia Raya yang tercinta ini yang pintar dan sangat pintar. Tulisan ini hanya berusaha mengingatkan kembali, agar jangan sampai kasus seperti diatas (yang sebenarnya masih banyak kasus pembangunan yang merusak lingkungan lainnya) terulang kembali. Dan berusaha mengingatkan akan pentingnya konsep Pembangunan Berkelanjutan yang memerhatikan ekonomi, sosial dan lingkungan sehingga tidak menjadi Pembangunan Yang Tidak Berkelanjutan.

Keberadaan Juru parkir di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dilihat dari sisi Rasionalitas

Kasus :
Penataan parkir merupakan unsur yang penting dalam elemen perancangan perkotaan, dan termasuk dalam unsur sirkulasi dan parkir (circulation and parking). Untuk wilayah DIY hal ini menjadi sangat penting dalam melakukan penataan akibat mobilitas kendaraan dan manusia yang semakin meningkat, mengingat DIY adalah salah satu daerah tujuan wisata dan pusat pendidikan. Dengan dasar ini, munculah aktor atau pelaku yang mengelola penataan parkir dan adanya Kekuatan juru parkir yang mampu menggeser atau menahan kebijakan terkait sistem transportasi yang direncanakan.

Analisis :
Juru parkir yang ada di DIY berkembang dan tergabung dalam Forum Komunikasi Pekerja Parkir Yogyakarta (FKPPY), dimana di dalamnya terdapat banyak kelompok juru parkir. Forum ini menjadi kekuatan yang muncul akibat adanya kepentingan individu yang tergabung dalam komunitas tersebut. Secara rasional, ada beberapa hal yang menjadikan kelompok juru parkir di DIY terus bertambah besar dan berkembang menjadi kuat antara lain :
1. Sulitnya mencari pekerjaan di Jogjakarta dengan penghasilan cukup, terbilang sulit karena pesyaratan-persyaratan yang di ajukan juga sulit untuk dipenuhi. Misalnya saja bagi mereka yang memiliki latar belakang pendidikan yang minim yang juga akibat dari perekonomian yang minim. Berbeda dengan menjadi tukang parkir yang tidak perlu keahlian khusus.
2. Penghasilan dari juru parkir yang ada di Jogja terbilang cukup besar. Hal ini bisa kita lihat dari juru parkir yang ada di Malioboro Jogja. Sebuah studi yang dilakukan UGM pada tahun 2007 menunjukkan potensi pendapatan dari lahan parkir di Kota Yogyakarta mencapai Rp 8,5 miliar.
3. Mobiltas kendaraan serta munculnya tempat-tempat yang marak dikunjungi banyak orang menjadikan salah satu alasan bahwa penghasilan juru parkir cukup tinggi. (Jogja masih menjadi kota tujuan wisata).
4. Pertambahan sepeda motor yang mencapai 11,8 % per tahun telah menggantikan alat transportasi lain seperti bus, dengan semakin banyaknya kendaraan bermotor akan meningkatkan kebutuhan akan lahan parkir, baik yang resmi atau liar, yang tentunya akan meningkatkan kebutuhan akan juru parkir.
5. Peningkatan jumlah juru parkir juga disebabkan karena Pemerintah Kota Yogyakarta sendiri tidak memiliki konsep yang jelas mengenai penyelenggaraan parkir. Beberapa peraturan daerah hanya menyoroti masalah tarif parkir, tidak mengatur wilayah mana saja yang bisa di jadikan lahan parkir. Hal ini akan semakin meningkatkan jumlah lahan parkir ilegal.
6. Ada kelompok-kelompok yang mendukung dengan kebijakan-kebijakan yang ada untuk memperkuat keberadaan juru parkir tersebut. Yang dimaksudkan adalah, adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.

Hal tersebut dilihat terlepas dari dampak negative keberadaan juru parkir. Artinya adalah, secara rasional, keberadaan juru parkir di Jogjakarta menjadi sangat kuat, bahkan mampu menggeser sistem perencanaan transpotasi yang akan dicoba untuk dikembangkan untuk memberikan tata kota yang lebih baik dan menarik bagi wilayah DIY.