Jumat, 29 Oktober 2010

Jogja berduka lagi..(November 2010)

Introduction
Apalagi yang akan terjadi? Gempa besar di Mentawai yang mencapai 7.2 sch, Jakarta yang dikepung banjir dan macet, gunung merapi yang mulai menunjukkan taringnya, gempa barat laut Wonosari 4 sch, beberapa gunung besar lainnya juga menunjukkan reaksi atas beberapa aktivitas alam sebelumnya. Bisa dibayangkan bagaimana karena itu semua terjadi secara serentak, bersamaan, sehingga sebagian dari warga Indonesia merasakan hal yang sama dengan kendala yang tentunya berbeda-beda.

Indonesia sedang berduka dengan itu semua.dan kita bisa berbuat apa? lalu masih ingin menunjuk siapa yang salah dan bertanggung jawab akan hal ini? hal yang menurut saya perlu juga diperhatikan dan dipertimbangkan mungkin setelah itu selesai. Karena bagi saya yang terpenting sekarang adalah bagaimana kita yang masih mau perduli dengan kejadian yang ada di atas, berusaha untuk membantu memberikan solusi atau pemecahan dari masalah yang sudah timbul tersebut, "meskipun itu terkait alam" minimal kita dapat meminimalisirnya.

Sejak 2006, kini 26 November 2010 gunung merapi di Jogja kembali mengajak warganya untuk berolah raga jantung sehat. Kali ini lebih parah dibandingkan dengan yang 2006. Dengan korban yang lebih banyak dibandingkan 2006 yang berjumlah 2 orang, saat ini korban jiwa mencapai 36 orang. Belum termasuk dengan yang korban luka-luka. Jumlah yang sangat banyak.

Awal munculnya banyak korban yang kebanyakan dari daerah timur merapi (Desa Umbulharjo), terjadi karena ketidaktahuan warga akan munculnya wedhus gembel yang sudah berada di atas kepala mereka. Mendung, dan banyaknya kabut menyebabkan warga tidak mengetahui dengan jelas akan bahaya yang sedang mengancam mereka meskipun alarm peringatan bahaya telah di nyalakan. Bahkan tempat wisata alam kaliurang yang selama ini menjadi patokan akan terjadinya bencana tersebut, pun tidak mengetahuinya.

Kembali hal yang sama terjadi pada Sabtu dini hari pukul 1.30 wib. Kali ini lebih besar erupsinya. Hujan abu vulkanik sampai di daerah Bantul dan Godean (kearah barat dan selatan). Kondisi panik, semrawut dijalan tidak bisa terkendali. orang berpikir bagaimana mereka bisa lari sejauh-jauhnya dari gunung merapi yang sedang memperlihatkan taringnya tersebut.

Bisa dibayangkan begitu paniknya masyarakat. Coba kita bayangkan adanya hujan air yang begitu derasnya sehingga sakit bila mengenai kulit kita? hanya saja air tersebut kita ganti dengan pasir dan debu vulkanik. Wiuhhhh bisa kita bayangkan, apalagi dengan waktu yang lebih dari 1 jam.

Kamis, 28 Oktober 2010

Awan Panas Masih Menjadi Ancaman Pascaletusan Merapi

Sleman (ANTARA) - Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Minertal Sukhyar mengatakan pascaletusan Gunung Merapi pada Selasa (26/10) masih ada ancaman lagi luncuran awan panas dan lahar dingin saat terjadi hujan di puncak.

"Sampai hari ini (Jumat) masih tercatat adanya luncuran awan panas sejak pagi, mengarah ke Kali Gendol dengan jarak luncur sejauh empat kilometer," katanya di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, berdasarkan pemantauan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta memang belum mendapatkan adanya indikator visual terbentuknya kubah lava baru seperti kebiasaan Gunung Merapi selama ini.

"Sesuai kebiasaan Merapi, setelah terjadinya letusan eksplosif memang diikuti dengan terbentuknya kubah aktif, awan panas yang meluncur dan guguran material dari puncak," katanya.

Ia mengatakan jika ancaman eksplosif tidak ada lagi, maka tinggal menunggu pertumbuhan kubah lava baru.

"Melihat akibat letusan eksplosif pada Selasa lalu, memang terjadi `direct blast` yang mengarah langsung ke lereng Merapi," katanya.

Sukhyar mengatakan kekuatan awan panas punya daya rusak yang besar menerjang apa saja di sepanjang lereng.

"Wajar saja jika di lereng selatan Merapi terlihat kerusakan cukup parah dan menghancurkan Dusun Kinahrejo hingga menewaskan warga. Awan panas itu terdiri atas debu, gas, pasir, panas, dan kecepatan tinggi," katanya.

Minggu, 24 Oktober 2010

“Industrial Infrastructure Development and Education for workers” (Soft Infrastructure)

By : Eustasius Suci Adi / 10/306457/PMU/06626
Introduction
Nowadays, Indonesian is active to implement national development. National development is a series of sustainable development efforts covering all aspects of the society, nation and state to achieve national goals as mandated in “Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945”, paragraph 4 about protecting Indonesian and improving the welfare, educating the nation and participating implement law of world based on freedom, lasting peace and social justice.
In order to realize the lofty ideals of Indonesia mentioned above, the government has tried to do various activities, one of them is to push the rate of the national economy. Growth rate of industry is the mainstay of the government in order to improve the economy in Indonesia. Economy of Indonesia will not develop without the support of the increase in industry as one of economy sectors that is dominant at the present. Based on the description above, the writer tries to provide an overview of the problem of the impact of industrial development on the economy, particularly the welfare of workers that is one of the main supports in the industry development.
In Indonesian history, liberalism has never succeeded to make this country as a bastion of industrialization. Many times, the industry governance in Hindia Belanda, and then Indonesia, should give up and compromise with the primitive model characterized by the exploitation of labors.
Hence, the attitude of the industry and the government standing behind the industry, almost always have attitude reactionary toward the labor movement emerging as a resistance to the cruel industrial methods. Industry, throughout the history of Indonesia, is almost always built from the top, and it serves the interests of the ruling.
Throughout its history, the labor movements who always strive for their welfare that has been unstable which reflect the relation of the labor movement to power, instead of industry. Every time of the labor movement had been experiencing. It is because of the organization of the militant bases accompanied by the spirit of politics. And every time of the labor movement suffered a backlash, it was undoubtedly caused by the firmness, loosening of militancy in the bases or soporific due to political parliamentary.
Labor movement is based on collectivism, in organizing, the patient propaganda and education that never gives up, and the merger between socio-economic struggles with political struggle for power. If the labor movement remembers this, and they are consistent to implement it, they will be strong and fit. But, if it is forgotten, then the labor movement will be tired, will be caught by politic of the investors.

Problems
Growth and development of industrial infrastructure, it has not affected the welfare of workers in this sector. The lack of the continuity of industry development has led soft infrastructure related to workers' education.
Eugene V. Schneider in Om Wiki1 is a person who cares about the industry in France in 1800s. He mentioned there are four factors:
a. The workers are often at the lowest position caused by the bureaucracy of the industry.
b. The workers are also at the lowest part of the authority hierarchy.
c. The workers are at the end of a chain of communication and command.
d. The workers are always posited as the laity ruled or administered by a bureaucratic hierarchy

From the statement of Eugene V. Schneider above we can take on the subject about demanding injustice of RIGHTS which should be obtained by people. The right of a worker is to obtain independence in balance with the obligations of work they had done. In addition, basic rights as human beings must receive adequate independence from the education. Both of the RIGHTS could not be arbitrarily seized by the authorities.
Of these factors, there cause dissatisfaction to the rights which have accrued to workers working in the sector. In addition, other causes are ignorance of workers' rights and obligation they have. And this became an opportunity for entrepreneurs or owners of industry to exploit the workforce in Indonesia.
 Rationalism

How does rational theory serve as a guide for the development practice? The theory of rational economics proposed by Alfred Marshall (1895) assuming that every human being is interested to maximize their utility, to achieve the welfare and profit. The rational theory will investigate each alternative and choose the best according to their individual needs.
The emergence of industrial infrastructure affects the development of the quality of workers becoming a part of running an industrial development itself. Development of industrial infrastructure will certainly have an impact on labor demand.
The growth of the industry is expected to provide a good impact on the economy (employment) and provide revenue for the workers employed in these industry sectors. Rationally, if a company gives suitable salary to workers, this will make the workers willing to work with more responsibility.
 Demands
Such conditions give the demand for workers to fight their rights and their fate. The demand for knowledge of workers' rights that should they get, how to achieve it and how to develop these demands can be fulfilled, so there is a mutually beneficial engagement both from employers and also the workers .
Educational infrastructure for the workers is a challenge to answer the real problems that occur on labor conditions in Indonesia. Strengthening the capacity, organization, leadership, awareness and character development become the main focus in the educational infrastructure of these workers.
Educational infrastructure raises the challenge for the workers to explore and do it continuously. This is related to sustainable development where education of workers could indirectly have a positive impact on industrial development.
In addition, related to economic development and welfare of workers determined the workers because government policies made are more favorable ruling/entrepreneur party. The infrastructure challenge (Anonymous, 2005) that leads to economic growth and poverty reduction, reduction of unemployment would not happen if there is no agreement and the same understanding on the development of the industry itself.
Is educational infrastructure of workers capable of providing the changes to the labor conditions that are worse with the rapid growth of the industry?
 Equity
Various policies that have been carried out by the government in an effort to boost the rate of industrial development in Indonesia, activities in the field of preparation of the regulation that is expected to push the rate of industrial development, as well as real policies through empowerment departments related. In addition, the Coordination and collective action (at the community level, regional and local government, labor, state-society linkages) need to be reviewed, whether the relationships has been run well and it gives benefit each other and leads to the welfare of workers and society. Or is it only the welfare of owners, or only the government?
In regulation, to achieve the objectives above, it is needed the legal tool that is able to underlie the effort setting, coaching, and development and all industrial activity. In the framework of these needs, it is time to make renewal of industry law that is valid, where the law of industry has not been appropriate with the development of economy and industry that exist at present. This problem becomes more important, especially when it is associated with the existing fact. It is used for the setting, coaching, and industrial development that is only profitable for the entrepreneur or parties that control the industry, so that the interests or rights obtained by the workers should be properly explored.
Accountability and risk management (risk-sharing, accountability, management of government support) has been given in a little amount. This is also reinforced by the lack of support provided by the government related to policies that are not too much to take sides the workers. In this case, the educational infrastructure provided to workers, indirectly it is able to provide the impact on the development of welfare of workers themselves.
Educational Infrastructure provided to workers does not always have a positive impact. But it does not always carry a negative thing. Failure of workers development to function as labor unions fighting their fate, also they have experienced a failure when deal with the greed of businessmen. And this led to begin the growth of alternative labor unions. Some that is worth mentioning is SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), SBMSK (Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan) and PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia). This is a form of development of educational infrastructure to workers who are able to provide resistance to the injustice perpetrated by the ruling and impartial on workers' welfare.
Furthermore, in the field of bureaucracy, the optimization of the empowerment of the relevant departments is required in order to achieve industrial development as outlined in the national development goals. These activities can be done through human resource development, trimming the bureaucracy in licensing and others whose primary purpose is to enhance industrial development.

 Community Development

Infrastructure supports the growth process giving the impact on poverty reduction and including on increasing production and improving productivity. In addition, the infrastructure should help people (especially poor) basic access service, which can improve their lives and income opportunities to improve the welfare of society.
Industry development in Indonesia has not given a good effect in welfare of workers or employees. It is still evident from some movements performed in order to prosecute welfare of workers for their lives. There is much large-scale exploitation of workers employed.
Long struggle of the new Indonesian labor movement gets the good way when Suharto was forced off the throne. Despite the reformation following the fall of “Orde Baru”, it is not giving fruit like a dream before, these reformations still leave a space for the growth of a new labor movement that is more fresh and vibrant. Many independent unions stood everywhere. Unions that had been forced to join SPSI, one by one began to break away from its center. Actions of labor strikes and massive demonstrations began to become part of everyday news in the media.
This means that workers have started to dare to build community and dare to deal with the various parties which are always detrimental to workers with policies that are made. One of them is the development of industry that is not pro labor.
The labor union was formed with the situation where the infrastructure development industry does not provide welfare for their workers, so there is the infrastructure that leads the education of workers to reclaim their rights as workers who can be welfare.




Conclusion
The effect or impact of industrial development is very crucial at the development of Indonesia economy. Industry holds a decisive role in economic development so that it really needs to be supported and pursued its development.
Government efforts in improving the industry in Indonesia can be done through two ways, namely in terms of regulations made by updating the law of Industry which is not relevant to the circumstances, and in terms of bureaucracy that can be done by improving the quality of human resources and lead to policy that takes sides both parties (employers and unions), so that prosperity can be secured properly.
By observing the influence of industry on the development of the economy, then it is proper if the government is serious and immediate to change both the regulations and bureaucracy associated with the industry and prepare something to welfare.
Once again, the condition of industrial development does not take sides of common interest, which urges labors or workers who always give demands to achieve and get their rights as workers that they do not it. This means that industrial development does not necessarily have an impact in community development.
And keep in mind that the industry development should always involve the community, especially in determining policy and should be mutually beneficial and not detrimental to either party.
Skill is not the main goal, although it is not wrong if it was made a priority, please pursue intelligence and cleverness. Hopefully we are able to have the priority understanding, as we learn to walk earlier, when we walked using legs instead of using hand.
With an understanding of the fulfillment of their rights, I think the workers do not always claim their rights because they have been educated by the unilateral interest that only give profitable business. People who have a role as the ruling party in the shaded circle of the workers we may call the owner, director, manager, and human beings work environment that has authority on his work.

Reference
Anonim, (2005), Connecting East Asia, A New Framework for Infrastructure, ADB-JBIC-The World Bank, Manila

Phillips, (2009), An introduction Community Development: seven theories and seven community developers, Routledge 270 Madison Ave, New York, NY 10016, USA

Cahyono, Edi (no year). Gerakan Serikat Buruh dari Masa Ke Masa: Kolonial Hindia Belanda sampai Orde Baru. Hasta Mitra, Jakarta

Brown, Colin.(2003), A short history of Indonesia: the unlikely nation?. Crows Nest: Allen & Unwin. Taylor, Jean Gelman. Indonesia: Peoples and Histories. New Haven, Yale University Press.

Rabu, 20 Oktober 2010

Rational Theory The presence of parked Interpreters Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

Eustasius Suci Adi/10/306457/PMU/06626
Case:
Arrangement of parking is an important element in urban design elements, and included in the circulation and parking elements. For the region DIY, it becomes very important in making the arrangement due to the mobility of vehicles and the increasing human. Considering DIY is one tourist destination and educational center. On this basis, appears actor or actors who manage parking arrangements and the presence of an interpreter power capable of parking related policy shifts or hold the planned transportation system.

Analysis :
Interpreters’ parking is on DIY developing and incorporated in the Forum Communications Workers Parking Yogyakarta (FKPPY), where in it there are many groups of the interpreter parking. This forum is a force that appears due to the interests of individuals who are members of the community. Rationally, there are some things that make the park interpreter at the DIY group continue to grow and develop into strong, among others:

1. Difficult to find a job in Jogjakarta with sufficient income, somewhat difficult because the requirement-that the proposed requirements are also difficult to be fulfilled. For example, for those that have minimal educational backgrounds are also a result of the economy is minimal. Unlike the parking is not necessary specialized expertise.
2. Revenue from the existing parking interpreter of Jogja is quite large. This can be seen from the park interpreter in Malioboro Yogyakarta. A study conducted in 2007 UGM showed the potential revenue from parking in the city of Yogyakarta to reach IDR 8.5 billion.
3. Vehicle mobility and the emergence of a lively places visited by many people make one of the reasons that the interpreter parking income is high enough. (Jogja is still a tourist destination.)
4. Added motorcycles which reached 11.8% per year have replaced other means of transportation such as buses, with a growing number of motor vehicles will increase the need for ample parking, whether formal or wild, which would increase the need for interpreters parking.
5. Increasing the number of interpreters parking is also caused by the City Government of Yogyakarta itself has no clear concept about the operation of parking. Some local regulations only highlights the problem of parking rates, do not set any region that can be made in the parking lot. This will further increase the number of illegal parking.
6. There are groups that support the policies that exist to strengthen the presence of an interpreter parking. What it means is, the reciprocal relationship of mutual benefit.

This was seen regardless of the negative impact of the presence of an interpreter parking. The meaning is, rationally, the presence of interpreters in Jogjakarta parking becomes very strong, even able to shift the transportation planning system is that it tries to be developed to provide better urban planning and appealing to the DIY.

Kamis, 07 Oktober 2010

10 Propinsi Paling Miskin di Indonesia Angka kemiskinan tertinggi itu justru terjadi di wilayah dengan sumber alam melimpah. (Rabu, 25 Agustus 2010, 06:10 WIB/vivanews)

Hasil Sensus Nasional terbaru Badan Pusat Statistik telah merekam data perkembangan terbaru mengenai angka kemiskinan di Indonesia. Hasil sensus itu juga memetakan wilayah yang masih menghadapi persoalan kemiskinan yang cukup parah.

"Kemiskinan adalah salah satu masalah mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah negara manapun, karena salah satu tugas pemerintah adalah menyejahterakan masyarakat," ujar Kepala BPS Rusman Heriawan dalam penjelasan hasil Sensus Nasional yang dirilis baru-baru ini, berbarengan dengan ulang tahun RI ke-65.

Rusman mengakui jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 memang telah berkurang 1,51 juta orang menjadi 31,02 juta orang (13,33 persen) dibandingkan dengan Maret 2009 sebanyak 32,53 juta orang. Namun, angka kemiskinan itu terbilang tinggi.
Yang dimaksud dengan penduduk miskin adalah mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Angka garis kemiskinan pada Maret 2010 adalah Rp211.726,- per kapita per bulan.
Ketersediaan data kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran, menurut Rusman, sangat penting digunakan untuk mengevaluasi kebijakan strategis pemerintah terhadap kemiskinan. Ini juga penting untuk membandingkan kemiskinan antarwaktu dan daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi mereka.
Jika membandingkan antar daerah, BPS mencatat sejumlah wilayah masih menghadapi persoalan kemiskinan yang tinggi. Bahkan, angka kemiskinan yang tertinggi itu justru terjadi di wilayah dengan kekayaan sumber alam melimpah, seperti Papua dan Papua Barat. Prosentase angka kemiskinannya mencapai 34-36 persen, jauh lebih besar dibandingkan rata-rata nasional sebesar 13,33 persen.
Selain Papua, propinsi lain yang memiliki prosentase penduduk miskin tinggi adalah Maluku, Nusa Tenggara, Aceh, Bangka Belitung dan lainnya. Jumlah penduduk di propinsi-propinsi tersebut yang memang tidak sebanyak di Jawa, tetapi secara prosentase dibandingkan total penduduk di wilayah tersebut, kelompok orang miskinnya sangat tinggi.
10 Propinsi dengan Angka Kemiskinan Tertinggi (%)
No Propinsi Angka Kemiskinan
1 Papua Barat 36,80
2 Papua 34,88
3 Maluku 27,74
4 Sulawesi Barat 23,19
5 Nusa Tenggara Timur 23,03
6 Nusa Tenggara Barat 21,55
7 Aceh 20,98
8 Bangka Belitung 18,94
9 Gorontalo 18,70
10 Sumatera Selatan 18,30
Sumber: Sensus Nasional BPS 2010

Agar pengukurannya terpercaya, menurut Rusman, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Konsep ini tidak hanya digunakan oleh BPS tetapi juga oleh negara-negara lain seperti Armenia, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra Leone, dan Gambia. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Menurut pendekatan ini, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan (GK). Secara teknis GK dibangun dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM).
GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita per hari; sedangkan GKNM merupakan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.

"Pengukuran kemiskinan yang terpercaya dapat menjadi instrumen bagi pengambil kebijakan dalam memfokuskan perhatian pada perbaikan kondisi hidup orang miskin," kata Rusman.

Pengurangan kemiskinan sepanjang periode Maret 2009-Maret 2010 menjadi salah satu acuan bagaimana strategi yang bisa diterapkan. Pada periode itu angka kemiskinan berkurang 1,51 juta orang, menurut catatan BPS, terjadi karena sejumlah hal.

Pertama, inflasi umum relatif rendah, yaitu sebesar 3,43 persen. Kedua, rata-rata upah harian buruh tani dan buruh bangunan masing-masing naik sebesar 3,27 persen dan 3,86 persen selama periode Maret 2009-Maret 2010.
Ketiga, produksi padi tahun 2010 (hasil Angka Ramalan II) mencapai 65,15 juta ton gabah kering giling (GKG), naik sekitar 1,17 persen dari produksi padi tahun 2009 yang sebesar 64,40 juta ton GKG.
Keempat, sebagian besar penduduk miskin (64,65 persen pada 2009) bekerja di sektor pertanian. Nilai Tukar Petani naik 2,45 persen dari 98,78 pada Maret 2009 menjadi 101,20 pada Maret 2010.
Kelima, perekonomian Indonesia pada triwulan I 2010 tumbuh sebesar 5,7 persen terhadap Triwulan I 2009, sedangkan pengeluaran konsumsi rumah tangga meningkat sebesar 3,9 persen pada periode yang sama.

Serigala dan Domba saling bercanda (pinjam istilah Rm. Wahyu)

Pulang kuliah, secara gak sengaja aku duduk di bawah sebuah pohon besar dekat parkiran kampus tercinta Pascasarjana MICD UGM. Di sana ada Pak Satpam yang selalu menjaga kampus, Bapak Tukang parkir yang menjaga kendaraan kami selama kami kuliah, pak Bon yang setiap harinya selalu membersihkan kebun dan memberi makan angsa-angsa peliharaan kampus, serta mas Pur yang setia melayani kami mahasiswa/i MICD.

Bercanda, seolah kami sudah kenal lama, saling mencemooh tapi tidak merasa sakit hati, saling berbagi padahal kami belum saling mengenal...suatu yang jarang terjadi. Mungkin tidak semua tempat kita berada bisa menemukan hal yang demikian. Kalau menurut kak Watie (seniorku di PMK dulu), "..bisa berbicara dengan semua orang tanpa kotak-kotak raksasa, betapa menyenangkan ya.... apa bisa kita buat langsung yang katanya iklim keterbukaan, demokrasi dan otonomi. Katanya---katanya... katanya ,mau dibawa kemana bangsa ini ...." hahaha ungkapan seorang aktifis yang selalu berjuang untuk rakyat kecil.. Salut buat kak Watie.

Intinya adalah, ditengah kesibukan (lebih tepatnya sok sibuk sih) setiap manusia perlu untuk menyempatkan diri berinteraksi dengan sesamanya (manusia) yang bukan hanya menjurus pada pekerjaan tapi lebih tepatnya membangun keharmonisan hubungan antar manusia...hemmm terlalu ribet ya??? hehehe aku juga agak bingung menjelaskannya (bukan dosen soalnya).

I love jogja (untuk sementara)..hehe soalnya aku masih jarang menemukan keharmonisan hubungan seperti ini ditempat lain..
Monggo pak Satpam, kulo ajeng wangsul rumiyen.."

Selasa, 05 Oktober 2010

Unsustainable Development

Pembangunan yang tidak berkelanjutan merupakan pembalikan arah, tujuan, fungsi dan segala hal dari Pembangunan Berkelanjutan. Sustainable development atau Pembangunan Berkelanjutan merupakan proses pembangunan yang memiliki prinsip bahwa pembangunan itu terus berlanjut untuk kehidupan manusia saat ini dan saat selanjutnya yang tidak mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Faktor penting yang harus diperhatikan adalah memperbaiki kehancuran lingkungan dengan tidak mengorbankan pemenuhan kebutuhan pembangunan ekonomi dan sosial. Sehingga tiga faktor utama tersebut (ekonomi, sosial, lingkungan) menjadi suatu ketergantungan yang tidak bisa dilepaskan satu sama lainnya. Salah satu masalah ini pernah diulas di postingan Menghalau Gajah VS Ekonomi Kerakyatan.

Istilah Pembangunan Berkelanjutan sudah tidak asing, demikian juga dengan Pembangunan Hijau. Kedua istilah ini sama-sama memiliki 3 faktor utama seperti di atas, hanya saja Pembangunan Hijau lebih mendahulukan Perbaikan Lingkungan. Dengan lingkungan yang lebih baik maka kemudian sumber daya tercukupi dengan pemenuhan ekonomi dan sosial. Pembangunan Hijau didengungkan karena kehancuran lingkungan yang sangat dahsyat sehingga memerlukan penangan dan perhatian khusus untuk memperbaiki, dimana lingkungan adalah merupakan sumber daya bagi manusia sekarang dan masa depan.

Konsep Pembangunan Berkelanjutan memang penuh dengan perdebatan sengit terutama tentang pengertian, faktor utama dan pendukung, teknik pelaksanaan sampai dengan pembelajaran kepada publik. Tetapi yang harus kita ambil sebenarnya pola pikir bahwa kita hidup bukan hanya untuk kita hari ini. Kita hidup juga untuk generasi penerus kita, keturunan kita.
Tetapi kenyataannya bahwa pembangunan di Indonesia tidaklah bisa menerapkan 100 persen konsep pembangunan berkelanjutan. Masih banyak kebijakan-kebijakan publik yang tidak memikirkan konsep pembangunan berkelanjutan. Banyak contoh yang ada dan akhirnya muncul ke permukaan karena tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Kebijakan publik di bidang kehutanan baik menyangkut penebangan dan pemanfaatan hutan alam, perlambatan perluasan hutan lindung, penindakan illegal logging sampai penangan kebakaran hutan. Kebijakan di bidang kelautan, yang akhirnya juga menimbulkan pertanyaan serius. Kebijakan dalam hal pembangunan jalan sebagai akses umum.
Kasus lumpur PT. Lapindo Brantas yang terjadi belakangan ini merupakan contoh sempurna betapa pembangunan yang dilakukan secara sembrono dan sekedar berorientasi keuntungan ekonomis belaka dapat memberikan akibat yang catastrophic dan begitu menghancurkan. Ironis bukan??

Pada kasus Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) Sejuta Hektar sebagai usaha pemenuhan pangan terutama beras, sebenarnya merupakan tujuan mulia. Tetapi jika dirunut ke belakang adalah bahwa lahan tersebut adalah lahan bekas HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang kosong dan ditumbuhi semak belukar dan pohon kecil. Nah, kenapa tidak menggunakan dana reboisasi untuk menghijaukan kembali lahan bekas HPH ini. Dana Reboisasi malahan dipakai untuk membangun lahan sawah di mega proyek Lahan Sejuta Hektar tersebut (Mega Rice Project). Dana APBN telah digunakan lebih dari 2 trilyun rupiah dan gagal karena melawan kodrat alam. PPLG Sejuta Hektar dilaksanakan berdasarkan Keppres 82 tahun 1995 tanggal 26 Desember 1995. Mau jadi apa dengan kondisi semacam ini? AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) pada proyek Lahan Sejuta Hektar disusun setelah proyek berjalan, sehingga tidak adanya analisa mendalam mengenai lingkungan baik flora maupun fauna. Beberapa NGO telah menyuarakan tentang perlunya peninjauan ulang atas proyek ini, tetapi terlambat diperhatikan oleh pembuat kebijakan publik saat itu. Sehingga mengakibatkan kegagalan yang luar biasa dalam penggunaan dana dan hancurnya lingkungan hidup.
Kasus pembangunan apartemen di Malang, Jawa Timur. Didirikan didekat atau dipinggir sungai Brantas, dan di dekat kampus Brawijaya. Apakah sudah memenuhi AMDAL yang ada? Perlu untuk mengkaji ulang kembali.

Jelas tulisan ini tidak ingin menggurui para pembuat kebijakan publik di negeri Indonesia Raya yang tercinta ini yang pintar dan sangat pintar. Tulisan ini hanya berusaha mengingatkan kembali, agar jangan sampai kasus seperti diatas (yang sebenarnya masih banyak kasus pembangunan yang merusak lingkungan lainnya) terulang kembali. Dan berusaha mengingatkan akan pentingnya konsep Pembangunan Berkelanjutan yang memerhatikan ekonomi, sosial dan lingkungan sehingga tidak menjadi Pembangunan Yang Tidak Berkelanjutan.

Keberadaan Juru parkir di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dilihat dari sisi Rasionalitas

Kasus :
Penataan parkir merupakan unsur yang penting dalam elemen perancangan perkotaan, dan termasuk dalam unsur sirkulasi dan parkir (circulation and parking). Untuk wilayah DIY hal ini menjadi sangat penting dalam melakukan penataan akibat mobilitas kendaraan dan manusia yang semakin meningkat, mengingat DIY adalah salah satu daerah tujuan wisata dan pusat pendidikan. Dengan dasar ini, munculah aktor atau pelaku yang mengelola penataan parkir dan adanya Kekuatan juru parkir yang mampu menggeser atau menahan kebijakan terkait sistem transportasi yang direncanakan.

Analisis :
Juru parkir yang ada di DIY berkembang dan tergabung dalam Forum Komunikasi Pekerja Parkir Yogyakarta (FKPPY), dimana di dalamnya terdapat banyak kelompok juru parkir. Forum ini menjadi kekuatan yang muncul akibat adanya kepentingan individu yang tergabung dalam komunitas tersebut. Secara rasional, ada beberapa hal yang menjadikan kelompok juru parkir di DIY terus bertambah besar dan berkembang menjadi kuat antara lain :
1. Sulitnya mencari pekerjaan di Jogjakarta dengan penghasilan cukup, terbilang sulit karena pesyaratan-persyaratan yang di ajukan juga sulit untuk dipenuhi. Misalnya saja bagi mereka yang memiliki latar belakang pendidikan yang minim yang juga akibat dari perekonomian yang minim. Berbeda dengan menjadi tukang parkir yang tidak perlu keahlian khusus.
2. Penghasilan dari juru parkir yang ada di Jogja terbilang cukup besar. Hal ini bisa kita lihat dari juru parkir yang ada di Malioboro Jogja. Sebuah studi yang dilakukan UGM pada tahun 2007 menunjukkan potensi pendapatan dari lahan parkir di Kota Yogyakarta mencapai Rp 8,5 miliar.
3. Mobiltas kendaraan serta munculnya tempat-tempat yang marak dikunjungi banyak orang menjadikan salah satu alasan bahwa penghasilan juru parkir cukup tinggi. (Jogja masih menjadi kota tujuan wisata).
4. Pertambahan sepeda motor yang mencapai 11,8 % per tahun telah menggantikan alat transportasi lain seperti bus, dengan semakin banyaknya kendaraan bermotor akan meningkatkan kebutuhan akan lahan parkir, baik yang resmi atau liar, yang tentunya akan meningkatkan kebutuhan akan juru parkir.
5. Peningkatan jumlah juru parkir juga disebabkan karena Pemerintah Kota Yogyakarta sendiri tidak memiliki konsep yang jelas mengenai penyelenggaraan parkir. Beberapa peraturan daerah hanya menyoroti masalah tarif parkir, tidak mengatur wilayah mana saja yang bisa di jadikan lahan parkir. Hal ini akan semakin meningkatkan jumlah lahan parkir ilegal.
6. Ada kelompok-kelompok yang mendukung dengan kebijakan-kebijakan yang ada untuk memperkuat keberadaan juru parkir tersebut. Yang dimaksudkan adalah, adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.

Hal tersebut dilihat terlepas dari dampak negative keberadaan juru parkir. Artinya adalah, secara rasional, keberadaan juru parkir di Jogjakarta menjadi sangat kuat, bahkan mampu menggeser sistem perencanaan transpotasi yang akan dicoba untuk dikembangkan untuk memberikan tata kota yang lebih baik dan menarik bagi wilayah DIY.