Senin, 29 Maret 2010

All About "Sukabumi"..(Edisi 2)

Mengapa Serikat Pekerja/Buruh itu perlu di setiap perusahaan?


Menengok Kebelakang

Kalau mau sedikit menoleh ke beberapa waktu yang dulu, ketika terjadi gerakan tanam paksa di jaman Hindia Belanda. Di jaman ini kalau tidak salah, para petani yang bertanah, dipaksa untuk menjadi buruh tani di tanah mereka sendiri. Dari sini para petani di ubah kehidupannya dan dihancurkan perikehidupannya dari petani dipaksa menjadi buruh tani. Tentu saja, di bawah akumulasi primitif yang diterapkan dalam sistem tanam paksa, para buruh tani ini tidak memperoleh upah. Kondisi kerjanya lebih mirip corvee labor atau pekerja paksa.

Kondisi kerja yang demikian buruk memicu munculnya bentuk perlawanan yang khas sebuah gerakan buruh: pemogokan. Salah satu pemogokan pertama dalam sejarah Indonesia tercatat di tahun 1882 di Yogyakarta, di mana pada puncak gelombang pemogokan ini 21 pabrik gula terpaksa menghentikan produksinya karena pemogokan. Isu yang diangkat adalah 1) Upah; 2) kerja gugur-gunung (kerja rodi wajib) yang terlalu berat; 3) kerja jaga 1 hari tiap 7 hari; 4) kerja moorgan yang tetap dijalankan padahal tidak lazim lagi; 5) upah tanam sering tidak dibayar; 6) banyak pekerjaan tidak dibayar padahal bukan kerja wajib; 7) harga yang dibayar pengawas terlalu murah dibandingkan harga pasar; 8) pengawas Belanda sering memukul petani. Apakah Anda merasa akrab dengan tuntutan-tuntutan ini?

Saat-saat Terbentuknya Serikat Buruh/Pekerja

Serikat-serikat buruh di Hindia Belanda mulai dibangun oleh buruh-buruh kulit putih. Perkembangan gerakan buruh di negeri Belanda sendiri membuat banyak buruh warga negara Belanda membentuk serikat buruh di negeri-negeri jajahan. Banyaknya buruh kulit putih di negeri jajahan ini juga bersangkutan dengan semakin berkembangnya industri, terutama industri perkebunan, yang kemudian menuntut dikembangkannya sarana transportasi yang menghubungkan lahan kebun, pabrik dan pasar-pasar, didirikannya sekolah-sekolah untuk mencetak tenaga perkebunan yang handal dari kalangan pribumi, maupun perluasan jajaran birokrasi yang diperlukan untuk mengatur perekonomian modern yang lebih kompleks tersebut.

Berturut-turut lahirlah Nederlandsch-Indisch Onderwijzer Genootschap (1897), Statspoor Bond (serikat kereta api negeri, 1905), Suikerbond (serikat buruh gula, 1906), Cultuurbond Vereeniging v. Asistenten in Deli (serikat pengawas perkebunan Deli, 1907), Vereeniging von Spoor en Tramweg Personeel in Ned-Indie (serikat buruh kereta api dan trem, 1908), dll. Sekalipun pada awalnya serikat-serikat buruh ini dibangun oleh buruh-buruh kulit putih, namun semangat internasionalis dari gerakan buruh, yang saat itu sedang kuat di Eropa, meluber juga ke Hindia Belanda. Banyak serikat buruh yang tadinya eksklusif untuk kulit putih ini perlahan-lahan membuka pintu untuk bergabungnya buruh-buruh pribumi. Selain itu, persinggungan antara buruh-buruh pribumi dengan buruh-buruh kulit putih telah menularkan pula keinginan untuk membangun serikat buruh sendiri di kalangan pribumi.

Di antara serikat-serikat buruh yang dibangun oleh pribumi, layak disebut Perkoempoelan Boemipoetera Pabean (1911), Persatoean Goeroe Bantoe (1912) dan Personeel Fabriek Bond (1917). PFB adalah sebuah serikat buruh yang dibentuk oleh Soerjopranoto, yang kelak akan dikenal sebagai salah seorang “radja mogok” Hindia Belanda. Dari beberapa serikat buruh yang dibentuk oleh buruh-buruh kulit putih, salah satu yang terpenting adalah VSTP. VSTP, yang didirikan 14 November 1908 di Semarang, dengan cepat menyerap buruh-buruh pribumi ke dalam jajarannya. Pada tahun 1914, buruh-buruh pribumi ini telah mendapat tempat dalam jajaran pimpinan tertinggi VSTP—di mana 3 dari 7 anggota pimpinan pusatnya adalah pribumi. Tahun 1915, VSTP telah menerbitkan sebuah koran dalam bahasa Melayu, bertajuk Si Tetap. Salah satu dari tiga orang pribumi yang terpilih dalam pimpinan pusat VSTP ini adalah seorang pemuda berusia 16 tahun bernama Semaoen. Semaoen adalah seorang organiser yang sangat giat dan semenjak bergabung dengan VSTP di tahun 1914, sampai tahun 1920 dia telah mendirikan 93 cabang VSTP di Jawa dan Sumatera. Pada tahun 1923, anggota VSTP tercatat berjumlah 13.000 orang atau ¼ dari total buruh industri kereta api di Hindia Belanda.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa gerakan buruh diseputar tahun 1920-an adalah gerakan teroganisir pertama di Indonesia yang menempatkan penggulingan kekuasaan kolonial sebagai salah satu tujuan perjuangannya. Apalagi,di tahun 1920, Semaoen telah memimpin peralihan ISDV menjadi Partai Komunis Hindia, lalu tujuh bulan kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia—ini menjadikan PKI sebagai organisasi nasional pertama yang terang-terangan menggunakan kata “Indonesia”. Persoalan penggulingan kekuasaan kolonial inilah yang kemudian membuat pemerintah Kolonial bertindak keras. Para pimpinan buruh ditangkapi dan dibuang ke berbagai tempat. Semaoen sendiri dibuang ke Negeri Belanda.

Konservatif Gerakan Buruh

Kekalahan Pemberontakan 1926 melucuti gerakan buruh dari pimpinan-pimpinannya yang radikal dan berwatak revolusioner. Yang tersisa adalah para pimpinan yang konservatif, yang berwatak pasifis dan condong kepada ideologi keserasian antara buruh dan kapitalis. Salah satu bentuknya muncul dalam gagasan Dr. Soetomo, yang mengajukan bahwa buruh harus memisahkan dirinya dari partai politik, harus juga memusatkan perhatian pada upaya-upaya memperbaiki nasib dan tidak bersentuhan dengan aksi-aksi politis. Soetomo mendukung berdirinya Persatoean Serikat Sekerdja Indonesia di Surabaya, tahun 1930. Dia juga mendukung adanya asas tunggal untuk serikat-serikat sekerja semacam itu.

Ide ini menyebar luas di kalangan gerakan buruh. Di tahun 1941, menjelang masuknya Jepang ke Indonesia, berdirilah Gabungan Serikat-serikat Sekerdja Partikelir Indonesia (GASPI) yang berideologi semangat damai dalam perusahaan dan “pemegang modal dan pemegang buruh adalah sama harga, karena sama arti.” Pada tahun itu juga Jepang masuk ke Indonesia, dan semua gerakan politik di Indonesia (termasuk gerakan buruh) dibungkam total oleh pemerintahan Fasis Jepang dan terpaksa bergerak di bawah tanah.

Peristiwa kelam yang terjadi di tahun 1965 membalikkan keadaan secara drastis. Tuduhan yang dilontarkan Angkatan Darat bahwa PKI mendalangi peristiwa penculikan jenderal-jenderal, dan pembantaian aktivis gerakan rakyat yang terjadi sesudahnya, praktis menghancurkan struktur dan sendi-sendi kekuatan gerakan buruh progresif.

Orde Baru bergerak cepat merekonstruksi perekonomian Indonesia sementara para aktivis buruh progresif tengah meregang nyawa di tangan para pembunuh yang sampai sekarang tidak pernah diadili. Orde Baru membuka pintu lebar-lebar kepada perusahaan-perusahaan asing. Soeharto juga membuka pintu bagi mengalirnya pinjaman luar negeri untuk berbagai proyek yang kemudian dikelola oleh mitra-mitra dan kerabat dekatnya.

Dengan bantuan Frederich Ebert Stiftung, sebuah yayasan milik Partai Sosial Demokrat Jerman yang pro pasar bebas, pemerintahan militer ini juga merekonstruksi gerakan buruh. Melalui sebuah seminar yang disponsori FES di tahun 1971, disusunlah konsep baru serikat buruh Indonesia yang akan didukung oleh Orde Baru:

1. Gerakan Buruh harus sama sekali lepas dari kekuatan politik manapun;

2. Keuangan organisasi tidak boleh tergantung dari pihak luar;

3. Kegiatan serikat buruh dititikberatkan pada soal-soal sosial ekonomis;

4. Penataan ulang serikat-serikat buruh yang mengarah pada penyatuan;

5. Perombakan pada struktur keserikatburuhan, mengarah pada serikat sekerja untuk masing-masinglapangan pekerjaan.

Setidaknya, itulah prinsip yang dicanangkan secara teoritik. Kenyataannya, rekonstruksi serikat buruh dilaksanakan dalam bentuk FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) yang diketuai Agus Sudono, mantan ketua Gasbiindo, dan sekjennya adalah Suwarto, seorang mantan perwira Opsus (Operasi Khusus, pendahulu Kopkamtib). Di bawah komando dua orang petinggi Golkar ini, serikat buruh memang dilepaskan dari kekuatan politik manapun—dan jatuh ke dalam cengkeraman Golkar. Jajaran pengurus FBSI selalu diambil dari kader-kader Golkar.

Sejak awal, jelas bahwa FBSI ditujukan untuk memberangus buruh dan menutup dunia politik bagi buruh. Ideologi yang dikenakan oleh FBSI adalah ideologi harmoni, yakni antara buruh dan pengusaha harus ada ketenangan, tidak boleh ada konflik. Para pengurus teras FBSI juga selalu merupakan tokoh-tokoh yang dekat atau tergabung dalam Golkar. Dengan komposisi kepengurusan semacam ini, FBSI juga berfungsi sebagai pendulang suara bagi Golkar dalam tiap pemilu, mirip dengan “organisasi-organisasi profesi” lainnya seperti HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) maupun HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia).

Walau demikian, FBSI tetap tidak dapat sepenuhnya mengendalikan perselisihan perburuhan. Terlebih sejak Soeharto mengeluarkan Keputusan 15 Nopember 1978 (KNOP 15) yang mendevaluasi nilai rupiah terhadap dolar, dari Rp 415 per dolar menjadi Rp 625 per dolar. Devaluasi ini melambungkan harga-harga kebutuhan pokok—dan mereka yang upahnya tetap, seperti buruh, adalah yang paling terpukul oleh keadaan ini. Perlawanan buruh berlangsung di mana-mana.

Di tahun 1985, FBSI diganti menjadi SPSI, keadaan menjadi bertambah parah karena SPSI dijadikan sebuah “wadah tunggal”—sebuah penghalusan istilah bagi dijalankannya sistem korporatisme negara oleh Orde Baru. Untuk memperhalus kenyataan bahwa pemberangusan gerakan buruh dilakukan secara lebih sistematis, Soeharto menunjuk Cosmas Batubara, seorang mantan aktivis ’66, menjadi Menteri Tenaga Kerja. Cosmas memperkenalkan konsep Upah Minimum dan Jamsostek sebagai sogokan bagi buruh yang sekarang tidak lagi memiliki kebebasan untuk berorganisasi.


Demikian....

Dalam sejarah Indonesia, liberalisme tidak pernah berhasil menancapkan kukunya dengan kokoh dan mematangkan negeri ini sebagai benteng industrialisasi. Berkali-kali tata-kelola industri di Hindia Belanda, dan kemudian Indonesia, harus menyerah dan berkompromi dengan model penghisapan primitif yang bercirikan kerja paksa.

Oleh karena itu pula sikap industri, dan juga pemerintah yang berdiri di belakang industri itu, hampir selalu bersikap reaksioner terhadap gerakan buruh yang muncul sebagai perlawanan terhadap metode industrial yang kejam itu. Industri, sepanjang sejarah Indonesia, hampir selalu dibangun dari atas, dan mengabdi pada kepentingan penguasa.

Sebab itu pulalah sepanjang sejarahnya, gerakan buruh telah mengalami pasang-surut yang tiada hentinya, yang mencerminkan relasi gerakan buruh terhadap kekuasaan, bukan terhadap industri semata-mata. Setiap kali gerakan buruh mengalami pasang, itu pasti karena pengorganisiran yang militan di basis-basis, dan disertai dengan semangat berpolitik. Dan setiap kali gerakan buruh mengalami pukulan balik, itu niscaya disebabkan oleh ketergesa-gesaan, oleh mengendurnya militansi di basis-basis atau oleh keterlenaan akibat politik parlementarisme.


Gerakan buruh berlandaskan pada kolektivisme, pada pengorganisiran, pada propaganda yang sabar dan pendidikan yang tidak kenal menyerah, dan penggabungan antara perlawanan sosial-ekonomi dengan perlawanan politik untuk berkuasa. Jika gerakan buruh mengingat ini, dan konsisten melaksanakannya, dia akan kuat dan bugar. Tapi, jika dilupakan, maka gerakan buruh akan letih-lesu, dan akan tercengkeram oleh politiknya kaum pemodal